Tari Dalail Khairat

Selasa, 02 Maret 2010

Dalail Khairat membawa kita ke suasana ketika Islam pertama kali masuk Indonesia sekitar Abad Pertama Hijriah. Kedatangan para pedagang yang awalnya hendak berniaga dan memperbaiki kapal mereka di pesisir pantai Aceh, mengubah Tanah Rencong secara drastis. Nuansa budaya Hindu dan Buddha yang semula mewarnai kehidupan rakyat Aceh berangsur hilang. Berganti nuansa budaya Islam.

Kejayaan Islam di Aceh memasuki masa puncak ketika Kerajaan Samudera Pasai berdiri sekitar Abad XII. Kerajaan yang didirikan Sultan Malikussaleh itu membuat Samudera Pasai dikenal sebagai salah satu kota di kawasan Selat Malaka dengan pelabuhan yang sangat ramai. Bersama dengan Pidie, Pasai menjadi pusat perdagangan internasional dengan lada sebagai salah satu komoditas ekspor utama. Dalam sejarah juga tercatat, kerajaan Islam pertama di Nusantara itu menjadi cikal bakal pusat pengembangan dan penyebaran Islam di seluruh Nusantara dan Asia Tenggara.

Kebesaran Kerajaan Samudera Pasai mencapai puncak pada masa pemerintahan Sultan Malikul Dhahir. Dalam catatan Ibnu Battutah--musafir Islam asal Maroko yang mengunjungi Samudera Pasai sekitar 1345 Masehi--perdagangan di daerah itu sangat maju. Ini ditandai dengan penggunaan mata uang emas sebagai alat tukar. Pedagang-pedagang dari Asia, Afrika, Cina, dan Eropa, berdatangan ke Samudera Pasai. Hubungan dagang dengan pedagang-pedagang Pulau Jawa pun terjalin erat.

Dari kesultanan Samudra Pasai-lah khazanah budaya Aceh yang mengandung unsur pujian dan doa kepada Tuhan muncul. Menurut wartawan senior Rosihan Anwar, Sultan Malikussaleh menyukai syair-syair puisi yang berisi pujian kepada Yang Maha Kuasa. "Dunia ini fana. Sesungguhnya dunia ini tidaklah kekal. Semuanya tentu akan mati," tutur Rosihan mengutip salah satu puisi Malikussaleh. Rosihan juga menyatakan, pusat pemerintahan Samudera Pasai tak jauh dari Meulaboh.

Lambat laun, kejayaan Pasai meranggas. Perubahan terhadap budaya asli Aceh mulai luntur seiring pergolakan di Serambi Mekah. Mulai dari penjajahan Portugis, Belanda, hingga Jepang. Sejumlah tarian seperti Tari Seudati dan Saman terkena imbasnya.

Sejumlah rakyat Aceh menilai kedua tarian itu mulai menyimpang dari ajaran Islam. Banyaknya gerakan tangan dan liukan tubuh penari dalam Tari Seudati dinilai mengotori nilai-nilai Islam yang santun. Pakaian para penari yang penuh dengan warna mencolok dan perhiasan glamor pun dianggap menodai sucinya agama yang dianut hampir 100 persen masyarakat Aceh itu.

Peran warga Aceh tak dapat dilupakan dalam merebut kemerdekaan Indonesia dari cengkeraman penjajah. Sebut saja nama-nama Cut Nyak Dien, Abdoerrachman, hingga Teuku Umar, yang gagah berani menghalau penjajah. Mereka membuat warga Tanah Jeumpa bersatu bahu membahu menghalau penjajah.

Kebersamaan itu mulai luntur ketika Serambi Mekah dinodai pertumpahan darah sesama saudara. Segelintir warga Aceh yang tergabung dalam Gerakan Aceh Merdeka memburu anak negeri yang bertugas menjadi anggota TNI. GAM memburu TNI untuk dibunuh. Begitu pun sebaliknya.

Konflik saudara yang berkepanjangan membuat warga Aceh menjadi tertutup. Bahkan, bagi saudara mereka sesama rakyat Indonesia. Pandangan curiga kerap mengarah kepada pendatang terutama wartawan yang datang ke daerah itu. Maklum, mereka berada dalam posisi terjepit. Jika dianggap memihak TNI, mereka diburu GAM. Sebaliknya, mereka pun bisa dianggap antek GAM bila tak bekerja sama dengan TNI.

Namun, seni adalah seni. Di zaman seperti apa pun, apresiasi manusia terhadap keindahan itu selalu ada. Begitu pun saat Aceh dilanda perang saudara. Perseteruan sebagian rakyat Aceh dengan Negara Kesatuan RI juga turut mewarnai syair-syair yang muncul di Aceh. Sebut saja syair Peusaboh Hate (Satukan Hati). Dalam syair ini jelas tersurat kerinduan warga Aceh akan perdamaian.

Wisata Lainnya Di Aceh Besar

* Jajanan Khas Bolu manis ala Aceh
* Makanan Khas Gulai Kambing (kari)
* Makanan Khas Ayam Tangkap
* Museum Cut Nyak Dhien
* Masjid Tua Indra Puri
* Benteng Indra Patra
* Museum Ali Hasymi
* Makam Laksamana Malahayati
* Perpustakaan Kuno Tanoh Abee

1 comments:

Anonim mengatakan...

Hi,

I think you guys have to learn more about the Acheh history before you write some rubbish story like this!

Posting Komentar

Advertisement

 
 
 
 
Premium Blogger Themes by Putramahesa

Terimakasih Telah Mengunjungi Wisata Provinsi Aceh, jika ada kurang lebihnya saya mohon maaf